Senin, 01 Juni 2009

“Kuda Hitam” VS “Kambing Hitam”



“Kuda hitam” dan “kambing hitam” adalah dua kiasan (metafor) yang tidak asing terdengar di telinga kita. Kedua metaphor tersebut sering ditemukan dalam konteks kompetitif. Namun keduanya memiliki konotasi makna yang jauh berbeda. Istilah kuda hitam digunakan untuk merefleksikan sesuatu keadaan yang tidak disangka-sangka yang tiba-tiba muncul sebagai pemenang dalam suatu pertandingan. Sementara kambing hitam adalah kiasan untuk merefleksikan suatu tindakan menyalahkan suatu keadaan atau pihak lawan atas ketidakmenagan dalam suatu pertandingan. Tujuan utama dari tidakan pengambinghitaman adalah untuk menutupi kelemahan-kelemahan baik yang bersifat individu, kelompok bahkan Negara.
Tulisan berikut mencoba menganalisa beberapa dampak negatif dari “metode kambing hitam”. Tulisan ini tidak bertujuan khusus mengomentari fenomena perpolitikan, atau kususnya pemilu yang baru saja berlangsung di negeri kita. Namun lebih bersifat global terhadap sikap individual kita dalam menyikapi setiap perjuangan kehiduapan dalam usaha pengembangan diri secara maksimal, baik secara intelektualitas, spritualitas dan juga moralitas politik.
Namun penulis hanya ingin menekankan bahwa, kesadaran dan keakuratan menganalisa dampak positif dan negative terhadap suatu tindakan akan menjadi lebih penting, terutama dalam konteks Aceh. Terutama jika kita punya cita-cita untuk menjadikan Aceh sebagai “kuda hitam” perkembangan setelah lama tidak “diperhitungkan” (baca: mengalami ketertinggalan dalam berbagai bidang). Terlebih ketika issu tsunami dan konflik tidak begitu layak lagi untuk bisa kita”jual”, solusi lain harus segera dipikirkan, yaitu dengan menumbuhkembangkan kembali motivasi, etos kerja serta kreativitas nyata pemerintah dan masyarakat Aceh.

Secara historis, istilah kambing hitam atau scapegoat bukanlah istilah baru dalam sejarah kehidupan manuasia. Menurut Wikipedia online encyclopedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Scapegoat), ia telah muncul sejak abad XV dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang dalam sejarah Ibrani dan Kristiani. Secara etimologi, istilah kambing hitam merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani modern “Azazel” yang sering digunakan sebagai kata ejekan yang berarti “pergi ke neraka”.Lebih jauh, istilah kambing hitam yang tidak punya hubungannya sama sekali dengan warna ternyata tidak hanya sebatas istilah. Masih menurut Wikipedia online encyclopedia, pengambinghitaman (Scapegoating) juga merupakan sebuah teori social keagamaan (socio-religious) yang dikembangkan oleh René Girard, seorang antropolog Kristen controversial.
Dalam sejarah modern, istilah kambing hitam sebagai metafor (kiasan) juga masih banyak ditemukan. Tidak hanya dalam konteks politik dan olahraga tetapi juga dalam konteks pendidikan atau bahkan dalam banyak aspek kehidupan lainnya. Hal itu karena metode kambing hitam dianggap sebagai alat propaganda yang sangat ampuh. Salah satu contoh terkenal dari “metode kambing hitam” dalam dunia politik adalah propaganda Nazi pasca perang dunia I. Sementara dalam dunia olah raga, contoh yang umum diketahui adalah kasus yang menimpa pemain sepak bola Columbia, Andrés Escobar, yang ditembak mati saat ia kembali ke tanah airnya karena dikambinghitamkan dengan gol bunuh dirinya di Piala Dunia 1994.
Dari dua contoh tersebut di atas terlihat jelas bahwa, meskipun secara political-emotional tindakan tersebut diaggap “berhasil” atau memuaskan pelakunya, namun secara socio-rational sistem pengambinghitaman pada prinsipnya mengandung resiko besar dan fatal. Beranjak dari kedua kasus ini, berikut ini penulis mencoba menganalisa beberapa resiko lainya dari metode tersebut, baik dalam kaitannya dengan politik, pendidikan maupun agama.
Jika kita menyikapinya dengan bijak, sedikitnya ada beberapa resiko besar lainnya dari kebiasaan pengambinghitaman. Namun resiko yang paling mendasar dan berbahaya menurut penulis adalah matinya motivasi dan kreatifitas pengembangan diri. Pertama, matinya motivasi adalah fatal kerana akan berdampak pada menghambatnya pengembangan diri. Menutupi kekurangan diri dengan tidak mengakui kehebatan orang lain akan mematikan motivasi. Dia akan menutupi ruang pikir untuk mencari solusi logis terhadap sebab-sebab yang sebenarnya dari kegagalan tersebut. Jika kita sadari, belajar pada kesalahan atau kekurangan diri sebenarnya memiliki nilai yang lebih murni dan hakiki. Karena ia terbebas dari unsur ego dan ria, yang sering menjerumuskan seseorang kedalam kesombongan dan kebohongan diri.
Kedua, bahaya lain dari kebiasaan pengambinghitaman adalah akan mematikan kreatifitas. Dalam konteks pendidikan misalnya, karena guru sering dijadikan ”kambing hitam” terkait rendahnya mutu pendidikan, telah menyebabkan matinya kreatifitas para guru dan para penentu kebijakan pendidikan. Guru sebagai pihak yang dikambinghitamkan akan terasa acuh untuk tampil lebih kreatif. Mereka akan merasa sia-sia akibat “terkhianati” dengan “label kemunduran” yang telah terlanjur disematkan kepada mereka. Disisi lain, pihak penentu kebijakan pendidikan yang mengamini pengambinghitaman guru juga akan buta hati dan enggan berinovasi untuk mencari penyebab-penyebab sebenarnya dari masalah tersebut. Kita yakin para penentu kebijakan sangat tahu bahwa guru bukanlah faktor tunggal dalam masalah ini. Namun karena “kenikmatan kambing hitam” telah cenderung membuat mereka santai dan hanya berfokus pada satu problem tunggal dengan solusi-solusi yang sifatnya temporer.
Begitu juga dalam konteks agama. Kemunduran Islam misalnya sering diklaim semata-mata sebagai ulah pihak luar yang sengaja menghambat perkembangan Islam. Akibatnya kita sering pasrah dan tidak memiliki motivasi untuk melihat sebab-sebab yang sebanarnya. Atau sekali lagi kita” cendrung kenakan dan “lalee ngen sie kameng hitam” yang terkadang juga membuat kita sempoyongan akibat kelebihan memakannya. Kalaupun klaim di atas memang benar adanya, seperti usaha-usaha para orientalis untuk memutarbalikkan fakta-fakta kebenaran Al-Qur’an. Namun sayang kita selaku pemeluk Islam tidak menjadikannya sebagai tantangan untuk bangkit dan membuktikan bahwa Islam itu tidak seperti yang mereka tuduhkan. Salah satu cara paling efektif untuk itu adalah dengan mendakwahknanya” bil hal”, yaitu dengan berperilaku dan berdiskusi sesuai tatanan dan ajaran Islam dalam setiap persoalan keagamaan kita sehari-hari. Namun kenyataannnya kita sering latah dan terpancing dengan provokasi mereka. Kita kurang menyadari bahwa kekerasan tak akan selesai jika dibalas dengan kekerasan. Seperti diingatkan dalam kalimat mutiara berikut ini: "Kun ka al-syajar, yurma bi al-hajar, wa ya'udu bi al-tsamar." (Jadilah seperti pohon. Dilempar dengan batu, tapi membalas dengan buah).
Dampak lain dari pengambinghitaman dalam konteks politik, tulisan Zahrul Bawazir, “Ada apa setelah pemiliu? “ yang di muat di website WAA (World Acehness Association) sepertinya tepat untuk dijadikan rujukan. Zahrul menyebutkan bahwa dampak lain dari kambing hitam dalam konteks politik adalah akan membingungkan masyarakat. Demokrasi yang mencakup bebas berpendapat sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya. Dan salah satu satu penyebabnya menurut beliau adalah karena sejak kecil kita diajarkan hanya untuk menang, dan sangat jarang kita diberikan arti dari sebuah kekalahan.
Perfeksionitas dalam pandangan ini sungguh tidak bisa kita jadikan sebagai standar kesempurnaan. Karena mereka yang berhasil bukan saja ketika meraih kemenangan, tetapi ketika mereka bijak menanggapi kekalahan, mereka tergolong orang yang menang. Ketika kita dihadapkan kepada sebuah kegagalan, tidak semestinya mencari kambing hitam. Tetapi beri apresiasi kepada siapa saja yang menang.
Namun sepertinya para elit kita masih sangat suka dengan “kambing hitam” yang justeru akan membingungkan masyarakat. Di satu sisi masyarakat harus giat mendukung kinerja pemerintah, di sisi lain mereka dibuat ragu dengan stigma yang dilepas oleh para elit parpol. Alhasil, arah perubahan yang dituju selalu mengalami sandungan.
Mental menerima kekalahan rasanya belum dimiliki elit kita saat ini. mereka lebih senang melempar tuduhan dan mencari kesalahan orang lain. Oleh karena itu, apa salahnya jika kita tidak membingungkan negara dengan permasalahan pribadi atau kepentingan organisasi.
Cukuplah masa bersaing itu sebelum pemilihan. Kini, saat rakyat butuh dengan perubahan, marilah seiiring mengayun langkah menciptakan sebuah pemerintah yang bersih demi tercapainya amanat rakyat yang diridhai Allah S.W.T.
Akhirnya, satu hal yang perlu diingat bahwa untuk mencapai tujuan akhir ini “ kambing hitam dan “kuda hitam” tidak bisa berada dalam satu “kandang”. Dengan kata lain, untuk menjadikan Aceh sebagai “kuda hitam” perkembanagan nasional maka salah satu syarat utamanya adalah sembelihkan “kambing hitam”.

Tidak ada komentar:

Harry & Charlie