Sabtu, 05 Januari 2008

Mungkinkah Aceh Berkembang Secepat Quebec?

Ternyata banyak sekali kemiripan antara Quebec dan Aceh. Inilah kesan ketika saya melakukan penelaahan sekilas tentang sejarah revolusi di Quebec. Namun Quebec sebagai salah satu provinsi di Canada, jauh lebih maju. Mungkinkah dengan menfaatkan banyak kesamaan itu, Aceh bisa berkembang secepat Quebec? Secara historis, Quebec dan Aceh keduanya merupakan provinsi yang memiliki tingkat kontroversial politik tertinggi dalam sejarah negaranya masing-masing. Keduanya pernah memiliki keinginan kuat untuk memisahkan diri dari negara induknya. Khususnya lagi, penyebab dan isu kemerdekaan yang pernah disuarakan di kedua provinsi ini pun tidak jauh berbeda, yaitu sebagai akibat adanya diskriminasi dan keinginan hidup mandiri dengan budaya mereka masing-masing Claude Bélanger dalam Three pillars of Survival menguraikan bahwa isu kemerdekaan yang disuarakan di Quebec adalah faith (keimanan), language (bahasa) dan institutions (institusi) (Notre foi, notre langue, nos institutions/ our faith, our language, our institution) . Intinya, mereka ingin mempertahankan kepercayaan mereka (Roman Catholic), mempertahankan bahasa Perancis sebagai bahasa agama mereka (the guardian of faith), serta penguasaan institusi-institusi sebagai penjamin terhadap exsistensi kedua pilar lainya, faith dan language. Mereka berkeyakinan bahwa selama masyarakatnya masih berpegang teguh pada pilar-pilar tersebut, maka mereka akan tetap eksis sebagai bangsa yang memiliki keunikan dari warga Amerika Utara lainnya. Meskipun dalam beberapa sisi historis, antara Aceh dan Quebec memiliki banyak kesamaan, namun perbedaan yang sangat mencolok terlihat pada bentuk respon negara induknya terhadap isu kemerdekaan di kedua provinsi ini. Pemerintah Canada merespon isu tersebut dengan cara sangat persuasif. Mereka menyadari kalau ini adalah bola saju (snowball) yang harus diantisipasi secara cepat dan akurat. Sementara pemerintah Indonesia waktu itu, meresponnya dengan cara yang sangat represif, karena menganggap isu itu sebagai virus yang mematikan. Meskipun akhirnya disadari kalau ternyata itu bukan cara terbaik. Semoga saja lembaran hitam sejarah Aceh ini bisa ditutup rapat dan membuka halaman baru Aceh yang lebih terang. Didasarkan pada banyak kesamaan di atas, maka untuk memulai halaman baru Aceh, sepertinya tidak keliru apabila kita melihat juga bagaimana cara pemerintah Quebec bangkit dalam mengembangkan provinsinya. Hal ini menarik karena perubahan di Quebec terjadi begitu dahsyat, dan dalam waktu relatif singkat (1960-1966). Sampai-sampai gerakan revolusi di Quebec ini mengagetkan pemerintah Federal Canada dan membuat iri provinsi-provinsi lain di Amerika Utara ini. Pada prinsipnya, revolusi di Quebec merupakan kompensasi dari tuntutan kemerdekaan yang terjadi pada era 1960an. Fenomena ini kemudian direspon oleh pemerintah Canada dengan melibatkan para politikus untuk memediasi dan mencari solusi terbaik terhadap permasalahan tersebut. Jean Lesage, salah seorang tokoh dari Partai Liberal yang menggantikan pemerintahan lama Maurice Duplessis adalah pahlawan dalam sejarah revolusi ini. Dengan pendekatan yang tenang, simpatik serta semangat perubahan yang tinggi, akhirnya mampu meredam derasnya arus tuntutan kemerdekaan di Quebec. Inilah awal dari periode perubahan besar-besaran di Quebec yang dikenal dengan The Quiet Revolution (Bélanger,1999). Ada beberapa rahasia keberhasilan pemerintahan baru Lesage dalam merevolusi Quebec. Pertama, apa yang mereka lakukan adalah menunjukkan semangat dan tekad serta keseriusan pemerintahannya untuk merubah Quebec. Kedua, membangun semangat kebersamaan kepada seluruh warga Quebec. Dalam hal ini, pemerintah baru Quebec mengkampanyekan kembali langkah-langkah dan agenda perubahan yang akan dilakukan. Dengan cara ini, rakyat merasa dihargai oleh pemimpinya yang telah mereka pilih. Hasilnya, semua lapisan masyarakat Quebec ikut berpartisipasi menyukseskan program-program pemerintah, karena mereka tahu bahwa semua itu adalah untuk kepentingan mereka dan generasi baru Quebec. Lebih jauh, René Durocher dalam artikelnya The Quiet Revolution menyebutkan bahwa dengan semangat It´s time for a change.! dalam waktu dua tahun pemerintahan baru Lesage mampu merancang fondasi (platform) revolusi yang sangat kuat di Quebec. Langkah ketiga yang dilakukan pemerintah adalah mendata dan menganalisa segala persoalan di Quebec. Kemudian, semua perencanaan itu dikaji dan didiskusikan secara mendalam dengan para pakar lokal Quebec. Pemerintah mendata dan memanggil semua pakar dalam berbagai bidang, dimanapun mereka berada untuk pulang membangun Quebec. Konsequensinya, dalam waktu dua tahun pertama pemerintah baru ini telah mampu melakukan beberapa gebrakan awal (fundamental), diantaranya mereformasi sistem pengelolaan keuangan daerah, membatasi pengeluaran dana pemilu, mereformasi sistem pemilu yang lebih representatif agar dapat mengakomodir seluruh suara masyarkat, termasuk menurunkan batas usia pemilih dari 21 menjadi 18 tahun. Ternyata, semua itu bukanlah sebatas retorika dan agenda pemerintah baru Lesage, dalam masa dua tahun pemerintah ini mampu mendongkrak pertumbuhan pendapatan daerah dari 745 juta dolar menjadi 2.2 milyar dolar. Singkatnya, dalam masa enam tahun propinsi Quebec mampu disulap menjadi salah satu provinsi yang sangat diperhitungkan di antara propinsi-propinsi lain di Canada. Memang hubungan antara pemerintah daerah Quebec dan pemerintah federal Canada selama periode the Quiet revolution tidak begitu mesra. Hal tersebut karena pemerintahan baru Lesage terkadang sedikit batat alias tidak selalu sependapat dengan pemerintah pusatnya. Namun menariknya, hal ini dapat dimaklumi oleh pemerintah Canada, kalau anaknya sedang sangat serius membangun rumah kecil mereka sendiri. Mereka sadar kalau anaknyalah yang tahu persis bagaimana keinginan keluarga mereka mau hidup. Sifat permissive pemerintah induk ini ternyata juga membawa dampak positif. Pemerintah daerah menjadi lebih bersemangat dan kreatif dalam memikirkan dan mengembangkan program-program daerahnya. Kelonggaran yang didapat itu tidak disia-siakan, tetapi diisi dengan tekad dan semangat perubahan dalam berbagai aspek kehidupan yang sesuai dengan kultur masyrakatnya. Dari ilustrasi itu dapat disimpulkan bahwa, Semangat, Sepakat, Serius, Skill dan Saling menghormati (5S) merupakan satu rangkaian faktor penggerak (generating factors) yang sangat diperlukan dalam sebuah proses perubahan. Faktor ini juga sepertinya perlu dianalisa kembali dalam konteks perubahan Aceh hari ini. Terutama karena masih terkesan lambannya laju perubahan (reformasi dan rekonstruksi) yang terjadi di Aceh. Artinya perlu dilihat kembali apakah kelima faktor itu sudah terbangun dan terjalin dengan baik atau belum di Aceh. Agaknya mengawali agenda tahun 2008 ini, sebaiknya pemerintah dan masyarakat Aceh perlu perlu menjadikannya sebagai momontum evaluasi dan introspeksi, untuk memastikan apakah benar pemerintah baru IRNA (Irwandi-Nazar) masih memiliki semangat dan keseriusan dalam membangun Aceh? Memastikan apakah benar apa yang sedang dan akan dibangun pemerintah merupakan hasil kesepakatan masyarakat Aceh? Memastikan apakah benar pemerintah telah memaksimalkan pemanfaatan keahlian (skills) para pakar daerah sebagai local assets dalam berbagai bidang? Memastikan apakah benar kita telah membangun rasa saling hormat menghormati, baik personal antar masyarakat maupun eksternal kelembagaan. Ini sangat penting sebagai penjamin terhadap eksistensi keempat faktor S lainnya. Karena akan sangat mustahil bisa melahirkan semangat, sepakat serius, skills tanpa diawali saling saling hormat menghormati antarsesama.
*) Penulis adalah mahasiswa Program MLIS, McGill University, Canada.

Harry & Charlie